Rabu, 23 Maret 2011

Tafsir Ahkam (wasiat)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Dalam kehidupan modern saat ini, yang mana semakin berkembangnya pola pikir manusia sehingga mempengaruhi segala bidang kehidupan. Namun, pada kali ini akan dibahas lebih khusus mengenai aspek social dan individu manusia itu sendiri, yaitu masalah wasiat yang mana hal ini sangat rentan akan kericuhan jika pelaksaan dan pemahamannya tidak benar.
Arti wasiat dalam KBBI adalah pusaka atau pesan terakhir disampaikan oleh orang yang akan meninggal dunia (biasanya mengenai harta kekayaan)[1]. wasiat berasal dari washai tusy a uushiihi berarti aushaltuhu (saya menyambungkannya). Jadi, orang yang berwasiat adalah orang yang menyambung apa yang telah ditetapkan pada waktu hidupnya sampai dengan sesudah wafatnya. Adapun menurut istilah syar’i ialah seseorang memberi barang, atau piutang, atau sesuatu yang bermanfa’at, dengan catatan bahwa pemberian termaksud akan menjadi hak milik si penerima wasiat setelah meninggalnya si pemberi wasiat[2].
Kehadiran sistem wasiat dalam hukum Islam sangat penting artinya sebagai penangkal kericuhan dalam keluarga. Karena ada di antara anggota keluarga yang tidak berhak menerima harta peninggalan dengan jalan warisan. Namun, pada kali ini akan di bahas mengenai perintah berwasiat, karena tidak ada manusia yang tahu akan umurnya.
Wasiat sebaiknya tidak dipandang sebagai sebuah pertanda buruk. Beberapa orang berpendapat, berwasiat merupakan tanda-tanda kematian yang segera. Sebenarnya wasiat merupakan sejenis penjagaan dan pandangan jauh kedepan. Oleh karena itu, apabila ayat itu mengingatkan kita untuk menyampaikan wasiat pada saat kematian tiba.
B.     Rumusan Masalah
Dalam hal ini kami membatasi pembahasannya, yaitu :
1.      Tafsir surat Al-baqarah ayat 180, 181 dan 182
2.      Riwayat hadits berkenaan ayat.
3.      Muhasabahnya dengan surat al-Maidah ayat 106 dan Annisa ayat 58
4.      Pandangan Ulama Mazhab.



BAB II
PEMBAHASAN
PERINTAH BERWASIAT
A.    Surat Al-Baqarah Ayat 180, 181 dan 182
 
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ   .`yJsù ¼ã&s!£t/ $tBy÷èt/ ¼çmyèÏÿxœ !$uK¯RÎ*sù ¼çmßJøOÎ) n?tã tûïÏ%©!$# ÿ¼çmtRqä9Ïdt7ム4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿxœ ×LìÎ=tæ ÇÊÑÊÈ   ô`yJsù t$%s{ `ÏB <ÉqB $¸ÿuZy_ ÷rr& $VJøOÎ) yxn=ô¹r'sù öNæhuZ÷t/ Ixsù zOøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ÒOŠÏm§ ÇÊÑËÈ  
(180) Diwajibkan atas kalian, tatkala (tanda-tanda) kematian mendekati(salah seorang) di antara kalian, dan apabila meninggalkan harta bagi kedua orang tua dan karib kerabat untuk untuk membuat wasiat secara makruf. (ini adalah) sebuah tugas (kewajiban) kepada orang-orang yang bertakwa.
(181) Barang siapa mengubahnya(wasiat) setelah dia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
 (182) Tetapi apabila siapa saja khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka(orang-orang yang bersangkutan), maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pembahasan dalam ayat-ayat sebelumnya mengenai permasalahan-permasalahan seperti kehidupan, pembunuhan,orang yang dibunuh, dan khisas, sedangkan dalam ayat-ayat ini dibahas sebagian dari hukum waris yang berkaitan dengan urusan keuangan, dimana Al-qur’an berkata, diwajibkan atas kalian, tatkala (tanda-tanda) kematian mendekati(salah seorang) diantara kalian, dan apabila meninggalkan harta bagi kedua orang tua dan karib kerabat untuk membuat wasiat secara makruf.[3]
Kemudian, di penghujung ayat tersebut al-Qur’an berkata, …..(ini adalah) sebuah tugas (kewajiban) kepada orang-orang yang bertakwa.
Wasiat sebaiknya tidak dipandang sebagai sebuah pertanda buruk. Beberapa orang berpendapat, berwasiat merupakan tanda-tanda kematian yang segera. Sebenarnya wasiat merupakan sejenis penjagaan dan pandangan jauh kedepan. Oleh karena itu, apabila ayat itu mengingatkan kita untuk menyampaikan wasiat pada saat kematian tiba dengan bunyi,tatkala(tanda-tanda) kematian mendekati (salah seorang)diantara kalian,…..[4]
Hal demikian dilakukan apabila saat-saat tersebut merupakan saat terkhir. lainnya, sang individu dapat menyampaikan wasiat bertahun-tahun sebelum kematina datang menjemput.[5]
Sebelum ayat waris turun, berwasiat kepada ibu-bapak dan kerabat merupakan suatu kewajiban menurut pendapat yang paling sahih diantara dua pendapat yang ada. Namun, ayat wasiat ini dinasakh (dihapus) oleh ayat Fara’id yang menjadikan waris sebagai kewajiban dari Allah yang harus diberikan kepada ahli waris, dan sebagai keharusan tanpa wasiat dan tidak mengandung kemurahan orang yang berwasiat. Dalam hadits yang terdapat pada kitab-kitab sunan dan kitab lainnya dikatakan dari amr bin kharijah, dia berkata bahwa dia mendengar Rasulllah Saw. Berkhutbah dangan mengatakan,[6]
إن الله قدأعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث (روه أصحاب السنن)
Artinya : “sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang haknya, maka tiada wasiat bagi ahli waris.” (HR. ‘Ashabus-Sunan)
Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. Membaca surat al-baqarah hingga ayat ini, “apabila dia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat”. Ada pendapat yang mengatakan ayat ini “menasakh”, dan pendapat lain mengatakan ayat ini “dinasakh” bagi orang yang berhak menerima  warisan, dan ayat in tetap hukumnya bagi orang yang tidak menerima warisan. Menurut Ibnu katsir, apa yang dikemukan oleh mereka itu bukan nasakh. Karena itu ayat waris hanya menghilangkan ketentuan bagi beberapa individu yang ditentukan oleh keumuman ayat wasiat, sebab kata kerabat itu lebih universal dari pada kata ahli waris atau bukan ahli waris. Lalu ayat waris menghilangkan hokum wasiat kepada ahli waris, dan menetapkan bukan ahli waris sperti ditunjukan oleh ayat pertama.[7]
Sebenarnya masalah ini menjadi sederhana bila mengikuti pendapat sebagai ulama yang mengatakan bahwa pada permulaan islam wasiat itu hukumnya sunnah sebelum dinasakh. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebelumnya wasiat itu merupakan kewajiban adalah karena melihat zahirnya ayat. Dengan demikian, nyatalah bahwa ayat wasiat itu dinasakh oleh ayat waris sebagaimana dikatakan oleh para mufasirin dan ahli fikih yang repsentatif. Karena kewajiban wasiat kepada ibu bapak dan karib kerabat yang merupakan ahli waris dinasakh oleh Ijma, bahkan hal itu dilarang berdasarkan hadits yang telah disebutkan tadi “sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang haknya, maka tiada wasiat bagi ahli waris.”[8]
Jadi, ayat waris itu merupakan hukum tersendiri dan kewajiban dari sisi Allah bagi orang-orang yang mendapat bagian tertentu dan ashabah. Sementara itu, hukum ayat wasiat kepada ahli waris dihilangkan secara total oleh ayat waris. Kini, tinggallah kerabat yang tidak berhak menerima warisan. Maka disunnahkan kepada seseorang untuk berwasiat kepada mereka sepertiga dari hartanya sebagai respon atas ayat wasiat dan keumumannya, juga karena ada hadits dalam shahihain dari Ibnu Umar, dia berkata bahwa Rasullah saw. Bersabda :
ما حق امرىء مسلم له شيء يوصي فيه يبيت ليلتين إلا ووصيته مكتوبة عنده (روه البخاري ومسلم)
Artinya : “Tiada hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang diwasiatkan, lalu bermalam sampai dua malam, kecuali wasiat itu harus sudah tertulis padanya.”
Maksud dari hadits tersebut adalah jika seorang ada wasiat yang akan diwasiatkannya, haruslah ia tulis dengan segera, jangan dipermalamkan artinya ditungu-tunggu, karena maklumlah umur manusia ini tidak diketahui. Oleh sebab itu tulislah dengan segera supaya jangan lupa.[9]
Firman Allah, “Apabila dia meninggalkan harta.” Menurut Ibnu abbas dan yang lainnya, khairan berarti harta. Kemudian diantara ulama ada yang berpendapat bahwa wasiat itu disyariatkan, seperti halnya waris, baik hartanya itu banyak maupun sedikit. Ada pula yang berpendapat wasiat hanya dilakukan bila seseorang meninggalkan harta yang banyak. Kemudian mereka berikhtilaf mengenai batasan “banyak” itu. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dia berkata, “diceritakan kepada Ali r.a. bahwa ada seorang quraisy mati dan meninggalkan 300 atau 400 dinar, namun dia tida berwasiat, bagaimana menurut anda?” Ali menjawab, “dia tidak perlu berwasiat, karena Allah berfirman, “jika dia meninggalkan harta maka berwasiat.”[10]
Kata khair dalam istilah bahasa Arab diaplikasikan dalam makna “kekayaan” agar menjadi jelas bahwa islam mengetahui, kekayaan merupakan perkara yang baik serta karunia Allah apabila diusahakan dengan cara yang baik dan dibelanjakan sesuai dengan cara yang sah dan dihabiskan untuk membantu dan berbuat kebaikan serta menguntungkan manusia. Gagasan seperti ini memberangus sikap negatif orang-orang yang menganggap harta sebagai hal yang buruk pada dasarnya. Islam mengecam orang-orang sesat dan berpura-pura bertakwa tersebut dan menduga-duga bahwa kesalihan yang islami sebagai sebuah kualitas yang identik dengan kemiskinan. Faham dan sikap orang-orang yang beiman semacam itulah yang menyebabkan mandeknya masyarakat islam dan mengakibatkan berkembangnya para pengeksplotiasi.[11]
Sementara itu,makna ayat makna ayat seperti ini menjadi isyarat kecil yang menunjukkan bahwa kekayaan yang melimpah tapi logis adalah halal dalam islam. Secara faktual, kekayaan yang diperoleh secara tidak sah kemudian diwariskan di dunia ini merupakan suatu keburukan. Kekayaan tersebut adalah jahat dan merugikan.[12]
Beberapa hadits yang menunjukkan, kata khair disini mengacu pada kekayaan yang mlimpah yang perlu diwasiatkan. Karena itu, harta minim yang dapat dibagi-bagi antar ahli waris menurut hukum waris tidak perlu diwariskan. Dalam madah lain,kekayaan kekayaan yang sedikit bukanlah sesuatu yang mensyaratkan seseorang untuk memisahkan sepertiganya sebagai wasiat.[13]
Karena tidak ada satu batas jumlah yang tertentu tentang berapa besarnya “harta yang banyak” itu, maka ketentuannya diserahkan kepada ijtihad saja. Tetapi seseorang yag meninggalkan beberapa dirham saja, sudah tentu tidak disebut “Khairan” atau harta yang banyak. Jadi menurut zahir ayat, wajib seseorang berwasiat kalau dia meninggalkan harta yang banyak dan tidak wajib kalau dia meninggalkan harta yang sedikit saja.[14]
Frase … tatkala (tanda-tanda) kematian mendekati (salah seorang) diantara kalian diperuntukan bagi saat-saat terakhir untuk menyampaikan sebuah wasiat sehingga apabila ditunda maka akan hilanglah saat-saat yang terakhir tersebut. Namun, amatlah baik jika kita mawas diri dan memanfaatkan kesempatan kita untuk mempersiapkan diri kita sendiri dengan cara menuliskan wasiat kita. Cara seperti ini, sperti dipahami dari referensi keislaman tidak hanya baik tapi juga sangat dianjurkan.[15]
Firman Allah “secara ma’ruf”  artinya dengan rasa kasih sayang dan baik. Sebagaimana dikatakan al-Hasan, “Wasiat yang baik merupakan hak bagi setiap Muslim yaitu dia berwasiat ketika menjelang kematian dengan cara yang ma’ruf dan bukan cara yang tidak disukai.” Yang dimaksud dengan ma’ruf ialah hendaknya seseorang berwasiat kepada kerabatnya tanpa mengganggu pusakanya, yakni tidak berlebihan atau berkekurangan, sebagaimana ditetapkan oleh Shahihain bahwa Sa’ad berkata, “wahai Rasullah, sesungguhnya aku mempunyai harta sedang ahli wariskku hanya seorang anak perempuan, apakah saya boleh mewasiatkan dua per tiga dari harta saya?” Nabi bersabda, “tidak boleh,” Saad berkata lagi, “atau setengahnya?” Nabi bersabda, “Tidak boleh,” Saad berkata lagi, “atau sepertiganya?” Nabi bersabda, “Sepertiga juga sudah banyak. Sesungguhnya apabila kamu meninggalkan ahli waris yang kaya itu lebih baik bagimu dari pada meninggalkan mereka berkekurangan dan meminta-minta kepada orang lain.”[16]
Pemberian wasiat dibatasi dengan istilah bil ma’ruf(dengan cara yang baik) menunjukkan bahwa wasiat harus layak dari segala sisi. Wasiat mesti dilakukan dengan cara yang baik, baik dari segi banyaknya harta maupun dari segi penerimaan wasiat, sehingga hukum adat dan akal sehat mengetahuinya sebagai perbuatan yang baik secara rasional, baik diskriminasi yang tidak adil yang biasanya menimbulkan konflik dan penyimpangan dari batas-batas keadilan dan kebenaran.[17]
Firman Allah, “Barang siapa yang mengubahnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” Maksudnya, barangsiapa yang mengganti dan mengubah wasiat sehingga ketetapannya berubah, kemudian ditambah atau dikurangi, dan termasuk kedalam mengubah terutama menyembunyikan wasiat, “maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orag-orang yang mengubahnya”. Ibnu Abbas dan Ulama yang lainnya mengatakan bahwa pahala wasiat itu tetap pada sisi Allah, sedang dosanya menyangkut orang-orang yang mengubah wasiat. “sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”, yakni sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang diwasiatkan oelh mayat, dan Dia menetahui hal itu termasuk perubahan yang dibuat oleh penerima wasiat.[18]
Ayat ini juga menunjukkan pada fakta bahwa amalan buruk yang dilakukan oleh pelaksana wasiat tidak akan pernah menghapus pahala si pewasiat. Apabila kejahatan tersebut terjadi, maka dosanya hanya akan dikenakan pada pelaksana wasiat yang telah mengubah sesuatu dari kualitas atau kuantitas surat wasiat tersebut atau telah mengacaukan pokok-pokok wasiat itu sendiri.[19]
Firman Allah, “Barangsiapa yang mengkhawatirkan orang yang berwasiat berbuat kesalahan atau dosa,” sehubungan dengan penggalan ayat ini Ibnu abbas dan yang lainnya berkata bahwa al-janf maknanya kesalahan yang berarti mencakup berbagai jenis kesalahan, misalnya meraka menambah waris dengan memakai perantara atau sarana, misalnya jika seseorang berpesan supaya menjual sesuatu barang si Fulan karena ia menyukainya; atau seseorang berwasiat agar anak perempuannya ditambah bagiannya, atau cara lain yang keliru atau disengaja. Perbuatan itu adalah dosa. Dalam menghadapi yang demikian, si penerima wasiat harus menyelesaikan permasalahan dan meluruskan wasiat sesuai dengan aturan syariat, dan mengalihkan wasiat mayat yang keliru kepada wasiat lain yang lebih mendekati kepada tujuan orang yang berwasiat dan jalan syariat. Tindakan perbaikan itu tidak termasuk ke dalam pengubahan wasiat. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw., beliau bersabda, “kecurangan dalam wasiat merupakan dosa besar”.[20]
Sejauh ini, berkaitan dengan fiqh telah jelas bahwasannya segala jenis perubahan jelas merupakan sebuah dosa, namun karena bisa saja terjadi suatu perbedaan dalam hukum atau peraturan maka dalam ayat terakhir disebutkan,tetapi barangsiapa yang khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara keduanya maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.[21]
Jadi pengecualian berlaku jika terdapat pengaturan yang tidak benar.keadaan inilah yang dapat menyebabkan perubahan yang dilakukan si pelaksana wasiat dibolehkan. Selanjutnya jika pemberi wasiat masih hidup, maka si pelaksana wasiat harus memberitahu maksudnya mengubah wasiat tersebut , namun jika pewasiat telah meninggal maka si pelaksana wasiat bertindak sendiri. Dari sudut pandang fiqh,dibatasi kasus-kasus berikut ini:[22]
1.      Jika pewasiat sudah mewasiatkan lebih dari sepertiga harta totalnya. Menurut fiqih berdasarkan riwayat dari Nabi SAW. dan para Imam Maksum (Ahlulbait)as, seseorang dapat mewasiatkan hartanya hanya sampai sepertiganya, karena lebih dari jumlah tersebut tidak diperkenankan oleh agama.
Oleh karena itu, mewasiatkan seluruh harta secara baik dengan maksud yang mulia, yang umum terjadi di antara beberapa orang yang tidak menyadari, menurut hukum fiqih, adalah kesalahan fatal.
2.      Apabila pewasiat mewasiatkan sesuatu yang mengundang dosa dan maksiat, contoh uangnya dihabiskan untuk membuat suatu kegiatan yang mengandung maksiat. Maka sesuikan lah dengan syariat
3.      Wasiat yang dapat mengakibatkan kerusakan, pertumpahan darah, dan konflik, dalam hal ini mesti disesuaikan atas bimbingan dan arahan hakim agama.





B.     Surat Al-maidah 106 dan Annisa ayat 58
Al-Maaidah ayat 106 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä äoy»pky­ öNä3ÏZ÷t/ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# tûüÏm Ïp§Ï¹uqø9$# Èb$uZøO$# #ursŒ 5Aôtã öNä3ZÏiB ÷rr& Èb#tyz#uä ô`ÏB öNä.ÎŽöxî ÷bÎ) óOçFRr& ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# Nä3÷Gt6»|¹r'sù èpt6ŠÅÁB ÏNöqyJø9$# 4 $yJßgtRqÝ¡Î;øtrB .`ÏB Ï÷èt/ Ío4qn=¢Á9$# Èb$yJÅ¡ø)ãŠsù «!$$Î/ ÈbÎ) óOçGö6s?ö$# Ÿw ÎŽtIô±tR ¾ÏmÎ/ $YYyJrO öqs9ur tb%x. #sŒ 4n1öè%   Ÿwur ÞOçFõ3tR noy»pky­ «!$# !$¯RÎ) #]ŒÎ) z`ÏJ©9 tûüÏJÏOFy$# ÇÊÉÏÈ  
106. Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-orang yang berdosa".
Maksud ayat ini adalah, apabila kamu dalam perjalanan, dan kebetulan ada salah seorang diantara kamu yang akan menghadapai maut dan hendak berwasiat mengenai hartanya, hendaklah kesaksian itu disaksiakan oleh dua orang islam atau dua orang lain sebagai washi, yaitu orang yang menerima wasiat, dan keada mereka itulah barang-barang tadi diamanatkan, atau mereka sebagai saksi atas mereka.[23]
Salah satu munasabah dari ayat ini adalah terdapat dalam surat al-baqarah ayat 180-182. Dalam ayat sebelumnya telah dijelaskan mengenai wasiat kepada kerabat dekat yang tidak mendapat harta warisan, dan dilarangnya washi untuk merubah isi wasiat serta diperbolehkan merubahnya jika perubahan itu membawa kepada kebaikan. Selain itu, munasabah dari ayat ini terdapat dalam surat al-maidah ayat 106. Dalam ayat ini menjelaskan tentang perlunya dua orang saksi ketika seseorang ingin berwasiat, saksi bisa dari orang muslim atau bukan muslim jika dalam berpergian, dan jika saksi itu berlaku curang terhadap sumpah yang mereka lakukan, maka bisa dari kerabatnya diambil sumpah. [24]

Annisa ayat 58 :
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Menurut kami ayat ini sudah jelas agar amanat yang diberikan kepada kita haruslah disampaikan kepada yang berhak, kaitannya dengan wasiat adalah karena wasiat adalah termasuk bentuk amanat yang diberikan oleh Mushiy. Maka dari itu haruslah menyampaikan amanatnya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kita perbuat, maka ketentuan yang telah dibuat janganlah diselewengkan. Jika terjadi penyelewengan maka berdosalah penerima wasiat yang mengubah bahkan menyembunyikan wasiat tersebut.
C.    Pandangan Ulama Mazhab Mengenai Wasiat
Keabsahan wasiat disepakati oleh semua mazhab, demikian juga kebolehannya dalam syariat islam. Wasiat ialah pemberian hak untuk memiliki suatu benda atau mengambil manfaatnya, setelah meninggalnya si pemberi wasiat, melalui pemberian suka rela (tabarru’). Wasiat dianggap sah jika dibuat (diucapkan) dalam keadaan sehat dan bebas dari penyakit, atau pun dalam keadaan sakit yang membawa kepada maut, atau sakit yang lain. Dalam kedua keadaan ini hukumnya sama menurut semua mazhab.[25]
Mazhab empat sepakat akan tidak bolehnya wasiat untuk ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya.[26]
Mazhab Imamiyah mengatakan : “Wasiat boleh untuk ahli waris maupun bukan ahli waris, dan tidak bergantung pada persetujuan para ahli waris lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan.” Praktek mahkamah-mahkamah di Mesir dulu berpegang pada mazhan yang empat, kemudian berganti ke mazhab Imamiyah.[27]
Semua mazhab sepakat akan sahnya wasiat bagi kepentingan umum, seperti kaum fakir miskin, para penuntut ilmu, masjid-masjid dan sekolah-sekolah. Abu Hanifah mengecualikan wasiat bagi masjid dan bagian-bagiannya, sebab masjid tidak ada pemiliknya. Sahabat Abu Hanifah, Muhammad bin Al-Hasan, mengatakan sah wasiat bagi masjid. Dalam hal ini, manfaat dari barang yang diwasiatkan digunakan untuk kepentingan masjid. Dan tradisi kaum Muslimin di Timur maupun di Barat di masa dahulu maupun sekarang mengikuti cara ini.[28]
Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan, manakala terdapat ahli waris, baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam keadaan sakit maupun sehat. Adapun jika melebihi sepertiga harta warisan, menurut kesepakatan seluruh mazhab, membutuhkan izin dari para ahli waris. Jika semua mengizinkan, wasiat itu berlaku. Tapi jika mereka menolak, maka batallah ia. Tapi jika sebagian dari mereka mengizinkan, sedang sebagian lainnya tidak, maka kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari harta yang mengizinkan, dan izin seorang ahli waris baru berlaku jika ia berakal sehat, baligh, dan rasyid.[29]
Terdapat perselisihan pendapat mengenai orang yang mewasiatkan seluruh hartanya, sedang dia tidak punya ahli waris. Imam Malik mengatakan : wasiat hanya boleh maksimal sepertiga hartanya, Abu Hanifah: boleh seluruhnya, Imam syafi’I dan Imam Ahmad mempunyai dua pendapat, sedangkan mazhab Imamiyah juga punya dua pendapat, tapi yang lebih shahih adalah boleh.[30]
Semua mazhab sepakat bahwa tidak boleh dilaksanakan pewarisan ataupun wasiat sebelum hutang-hutang si mayit di lunasi atau dibebaskan dari beban hutang. Jadi jumlah sepertiga harta warisan yang dikeluarkan untuk wasiat itu tidak termasuk hutang. Tetapi meraka berbeda pendapat mengenai saat perhitungan kadar sepertiga itu, apakah sepertiga pada saat wafat si mayit, ataukah pada saat pembagian harta warisan.[31]



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

1.      Arti wasiat dalam KBBI adalah pusaka atau pesan terakhir disampaikan oleh orang yang akan meninggal dunia (biasanya mengenai harta kekayaan).
2.      Pendapat sebagai ulama yang mengatakan bahwa pada permulaan islam wasiat itu hukumnya sunnah sebelum dinasakh. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebelumnya wasiat itu merupakan kewajiban adalah karena melihat zahirnya ayat.
3.      Diperintah berwasiat apabila datang tanda-tanda maut.
4.      Berwasiat dengan cara yang ma’ruf, yakni penuh kasih sayang dan baik serta tidak ada yang berkekurangan atau berkelebihan.
5.      Mengubah atau menyembunyikan adalah perbuatan dosa bagi yang mengubahnya.
6.      Jika yang berwasiat melakukan kesalahan akan wasiatnya, si penerima wasiat harus menyelesaikan masalah dan meluruskannya dangan aturan syariat dan mengalihkan kepada tujuan yang mendekati maksud pewasiat.
7.      Jika hendak berwasiat dianjurkan dengan menghadirkan 2 orang saksi.
8.      Kewajiban menyampaikan amanat.
9.      Wasiat dibolehkan oleh syariat jika tidak bertentangan dengan syariat.
10.  Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan, jika melebihi sepertiga menurut kesepakatan seluruh mazhab, membutuhkan izin dari para ahli waris.




DAFTAR PUSTAKA

Allamah kamal faqih imani, Tafsir Nurul Quran, alhuda, 2003, Jakarta.
Ar-rifa’I, Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, 2001.
As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Terjemah Mukhtarul Ahadits. Hal. 690. Bandung, Alma’arif, 1994
Syeikh haji abdul hakim hasan binjai, tafsir ahkam, kencana, 2006, Jakarta.
http://daarulilmu.blogspot.com/2010/07/hukum-wasiat-dalam-islam.html Diakses 14-03-2011 pukul 21.33 WIB.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online)
http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=316&Itemid=22, diakses 14-03-2011


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[3] Allamah kamal faqih imani, Tafsir Nurul Quran, alhuda, 2003, Jakarta. Hal. 65
[4] Ibid
[5] Allamah kamal faqih imani, Tafsir Nurul Quran, alhuda, 2003, Jakarta. Hal. 65
[6] Ar-rifa’I, Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, 2001. Hal. 283
[7] Ibid.
[8] Ibid. hal. 284
[9] As Sayyid Ahmad Al Hasyimiy, Terjemah Mukhtarul Ahadits. Hal. 690. Bandung, Alma’arif, 1994
[10] Ar-rifa’I, Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, 2001. Hal. 284
[11] Allamah kamal faqih imani, Tafsir Nurul Quran, alhuda, 2003, Jakarta. Hal. 66
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Syeikh haji abdul hakim hasan binjai, tafsir ahkam, kencana, 2006, Jakarta. Hal. 31
[15] Allamah kamal faqih imani, Tafsir Nurul Quran, alhuda, 2003, Jakarta. Hal. 67
[16] Ar-rifa’I, Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, 2001. Hal. 285
[17] Op.cit. hal 67
[18] Ar-rifa’I, Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, 2001. Hal. 285
[19] Allamah kamal faqih imani, Tafsir Nurul Quran, alhuda, 2003, Jakarta. Hal. 68
[20] Ibid.
[21] Ibid. hal. 69
[22] Ibid. Hal.69-70
[23] Syeikh haji abdul hakim hasan binjai, tafsir ahkam, kencana, 2006, Jakarta. Hal. 405
[24] http://daarulilmu.blogspot.com/2010/07/hukum-wasiat-dalam-islam.html Diakses 14-03-2011 pukul 21.33 WIB.
[25] Muhammad jawad mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, 2006, Jakarta. Hal. 504
[26] Ibid. hal. 507
[27] Ibid.
[28] Ibid. hal. 509
[29] Ibid. hal. 513
[30] Muhammad jawad mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, 2006, Jakarta. Hal. 514
[31] Ibid.

1 komentar: